Jumat, 20 November 2009

Bantu Sesama

Bantu Sesama
Jika pujian datang kepada kita, sebenarnya yang berhak dipuji dan layak disebut sukses adalah orang tua, guru, atau orang-orang yang membimbing kita. Kita bisa sukses karena syaratnya adalah lewat jasa, bimbingan, dan bantuan mereka.

Jadi, kalau kita ingin sukses maka yang terbayang dalam benak kita adalah bagaimana kita berjuang menyukseskan orang lain. Karenanya dalam 7B (kiat menjadi pribadi sukses), B yang keenam dalam adalah bantu sesama.
Kesuksesan itu adalah bagaimana kita menyukseskan orang lain dengan sadar. Jika kita mempunyai rezeki, maka orientasinya adalah bagaimana membagikannya. Jika kita memiliki ilmu, maka orientasinya adalah bagaimana mengajarkannya.

Kalau ingin mengetahui tingkat kesuksesan kita, lihatlah dari berapa banyak kita telah membantu menyukseskan orang lain, bukan dari banyaknya pujian yang datang kepada kita. Andaikata ada orang yang merasa sukses padahal baru dirinya sendiri yang sukses, maka dia sebenarnya bukan sukses, tapi gagal.

Karenanya kalau ingin sukes, tingkatkanlah kemampuan agar semakin banyak orang yang bisa dibantu. Buatlah petanya.

Pertama, mulai dari peta sanak saudara. Milikilah peta tentang keadaan saudara-saudara kita. Caranya, identifkasikan siapa saja saudara yang perlu dibantu. Saudara yang ini sekolahnya tak lancar. Saudara yang itu sewa rumahnya hampir habis. Saudara yang lainnya belum mempunyai pekerjaan. Petakan secara adil, baik untuk keluarga suami maupun istri.

Kedua, buatlah peta tetangga kita. Mulailah mengamati siapa saja tetangga yang perlu dibantu. Tetangga yang ini sudah mempunyai anak tapi pekerjaanya belum tetap. Tetangga yang itu sudah jompo, tapi anak-anaknya belum mampu membiayai. Tetangga yang satunya lagi, anaknya tidak disekolahkan, berpeluang menjadi anak jalanan.

Jangan sampai kita sekali makan ratusan ribu, memiliki mobil ratusan juta, tetapi ada saudara atau tetangga kita yang tak bisa makan, tak bisa membayar uang sekolah, apalagi membeli rumah. Untuk apa kita berjaya sedangkan sanak saudara dan tetangga kita harus mengemis atau mengharap sisa-sisa kita. Di mana nurani kita?

Walau memiliki rezeki yang lebih dari cukup, upayakan keluarga kita tetap hidup bersahaja dan lebihan hartanya digunakan untuk menolong sanak saudara dan tetangga kita.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah memajukan orang-orang di kantor atau tempat usaha kita. Jangan sampai kita menggunakan aksesoris mahal, tapi karyawan rezekinya seret, bagian cleaning service tak bisa memberi nafkah yang cukup pada keluarganya.

Membantu sebaiknya dengan memberdayakan. Misalnya, kita ingin memberi makan seseorang. Jika hanya diberi ikan sekali, makan langsung habis. Jika diberi pancing tapi dia tak tahu cara memancing, tak ada manfaatnya. Karenanya, latihlah agar dia bisa memancing, hingga akhirnya mampu mendapatkan makanan tanpa bantuan orang lain.

Artinya, upaya memberdayakannya itu bukan sekadar bantuan konsumtif, tapi sebaiknya bantuan yang bisa memberikan manfaat berkesinambungan hingga yang dibantu makin meningkat kemampuannya, misalnya dengan dikursuskan dan dimagangkan. Atau, kalau kita berinvestasi, sebaiknya dengan bagi hasil. Walau keuntungannya tak begitu banyak, tapi kita bisa menolong banyak orang mendapatkan pekerjaan.

Kita sering merasa bahwa rezeki itu apa yang kita dapatkan, padahal menolong orang lain juga rezeki. Misalnya saat berbelanja, belilah kepada pedagang yang paling sederhana dan tak usah menawarnya jika memiliki kelebihan uang. Rasul SAW bukan hanya tak menawar, bahkan menambahinya. Kalau kita orang kaya perbanyaklah pembantu di rumah agar anak-anaknya bisa kita sekolahkan sampai sarjana.

Jika orang yang dibantu pun memajukan lagi orang di sekitarnya dan begitu seterusnya, maka gerak kemajuan bangsa ini akan merata. Makin banyak orang yang sangat gigih membantu dan memajukan orang lain, makin cepat proses perbaikan bangsa ini.

Bila kesenjangan sosial mulai menipis, orang kaya akan makin dicintai, tapi bila kita melejit sendiri akan mengundang kedengkian. Inilah yang berbahaya.
Negeri ini akan bangkit ketika alat ukur kesuksesannya bukan sukses sendiri. Bos baru dianggap sukses ketika lingkungannya maju hingga nanti agak sulit membedakan antara bos dengan karyawan. Pemimpin yang sukses itu tampak dari kecintaan para karyawannya bukan dari kekayaan atau penampilannya. stz/mqp ( KH Abdullah Gymnastiar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar