Senin, 28 Desember 2009

Cinta dan Benci


Barangsiapa ingin dicintai Allah dan rasulNya hendaklah dia berbicara benar (jujur), menepati amanat dan tidak mengganggu tetangganya. (HR. Al Baihaqi)

Barangsiapa mengutamakan kecintaan Allah atas kecintaan manusia maka Allah akan melindunginya dari beban gangguan manusia. (HR. Adailami)

Paling kuat tali hubungan keimanan ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah. (HR. Athabrani)

Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Cinta berkelanjutan (diwariskan) dan benci berkelanjutan (diwariskan). (HR. Al Bukhari)

Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hambanya dalam kedudukan Allah pada dirinya. (HR. Al Hakim)

Petunjuk dan Ilmu


Abu Musa mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Perumpamaan apa yang diutuskan Allah kepadaku yakni petunjuk dan ilmu adalah seperti hujan lebat yang mengenai tanah. Dari tanah itu ada yang gembur yang dapat menerima air (dan dalam riwayat yang mu’allaq disebutkan bahwa di antaranya ada bagian yang dapat menerima air), lalu tumbuhlah rerumputan yang banyak. Daripadanya ada yang keras dapat menahan air dan dengannya Allah memberi kemanfaatan kepada manusia lalu mereka minum, menyiram, dan bertani. Air hujan itu mengenai kelompok lain yaitu tanah licin, tidak dapat menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput. Demikian itu perumpamaan orang yang pandai tentang agama Allah dan apa yang diutuskan kepadaku bermanfaat baginya. Ia pandai dan mengajar. Juga perumpamaan orang yang tidak menghiraukan hal itu, dan ia tidak mau menerima petunjuk Allah yang saya diutus dengannya.” (Bukhari)

MENJAMIN SURG


Dari Ubadah bin Shamit RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Hendaklah kalian menjamin padaku 6 PERKARA dari dirimu, niscaya aku MENJAMIN SURGA bagimu :
1. Jujurlah apabila kamu berbicara,
2. Sempurnakanlah (janjimu) apabila kamu berjanji,
3. Tunaikanlah apabila kamu diberi amanat,
4. Jagalah kemaluanmu,
5. Tundukkanlah pandanganmu (dari ma'shiyat)
6. Tahanlah tanganmu (dari hal yang tidak baik)".

[HR. Ahmad, Ibnu Abid-Dunya, Ibnu Hibban di dalam shahihnya, Hakim dan Baihaqi, di dalam At-Targhiib wat Tarhiib juz 3, hal. 587]

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI BERZINA


DOSA YANG LEBIH BESAR DARI BERZINA



Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung. Pakaianya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang mencekam. Kerudungnya menagkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa hias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah merosakkan hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk".



Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya. Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya." "Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa a.s. terkejut. "Saya takut mengatakannya."jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa. Maka perempuan itupun terpatah bercerita, "Saya... telah berzina.



Kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan, "Dari perzinaan itu saya pun... lantas hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya... cekik lehernya sampai... tewas," ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya. Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik, "Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik. Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut.



Dia terantuk-hantuk keluar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya.



Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa. Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?" Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang nista itu?" "Ada!" jawab Jibril dengan tegas. "Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran."Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina" Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut.



Nabi Musa menyedari, orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sholat itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya. Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya.

(Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)



Dalam hadis Nabi S.A.W disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka'bah.



Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.



Demikianlah kisah Nabi Musa dan wanita pezina dan dua hadis Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah. Tolong sebarkan kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahui.



Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubuilaiik

KISAH NERAKA JAHANNAM


KISAH NERAKA JAHANNAM



Dikisahkan dalam sebuah hadis bahawa sesungguhnya neraka Jahannam itu adalah hiam gelap, tidak ada cahaya dan tidak pula ia menyala.

Dan ianya memiliki 7 buah pintu dan pada setiap pintu itu terdapat 70,000 gunung, pada setiap gunung itu terdapat 70,000 lereng dari api dan pada setiap lereng itu terdapat 70,000 belahan tanah yang terdiri dari api, pada setiap belahannya pula terdapat 70,000 lembah dari api.



Dikisahkan dalam hadis tersebut bahawa pada setiap lembah itu terdapat 70,000 gudang dari api, dan pada setiap gudang itu pula terdapat 70,000 kamar dari api, pada setiap kamar itu pula terdapat 70,000 ular dan 70,000 kala, dan dikisahkan dalam hadis tersebut bahawa setiap kala itu mempunyai 70,000 ekor dan setiap ekor pula memiliki 70,000 ruas. Pada setiap ruas kala tersebut ianya mempunyai 70,000 qullah bisa.



Dalam hadis yang sama menerangkan bahawa pada hari kiamat nanti akan dibuka penutup neraka Jahannam, maka sebaik sahaja pintu neraka Jahannam itu terbuka, akan keluarlah asap datang mengepung mereka di sebelah kiri, lalu datang pula sebuah kumpulan asap mengepung mereka disebelah hadapan muka mereka, serta datang kumpulan asap mengepung di atas kepala dan di belakang mereka. Dan mereka (Jin dan Manusia) apabila terpandang akan asap tersebut maka bergetarlah dan mereka berlutut dan memanggil-manggil, "Ya Tuhan kami, selamatkanlah."



Diriwayatkan bahawa sesungguhnya Rasulullah S.A.W telah bersabda : "Akan didatangkan pada hari kiamat itu neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu mempunyai 70,000 kendali, dan pada setiap kendali itu ditarik oleh 70,000 malaikat, dan berkenaan dengan malaikat penjaga neraka itu besarnya ada diterangkan oleh Allah S.W.T dalam surah At-Tahrim ayat 6 yang bermaksud : "Sedang penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras."



Setiap malaikat apa yang ada di antara pundaknya adalah jarak perjalanan setahun, dan setiap satu dari mereka itu mempunyai kekuatan yang mana kalau dia memukul gunung dengan pemukul yang ada padanya, maka nescaya akan hancur lebur gunung tersebut. Dan dengan sekali pukulan sahaja ia akan membenamkan 70,000 ke dalam neraka Jahannam.

(Kisah Penuh Hikmah II)

Hadist Arba'in : "Bid'ah"


Ummul mukminin, ummu Abdillah, ‘Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak".
(Bukhari dan Muslim 􀃆 Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)

Penjelasan:
Kata “Raddun” menurut ahli bahasa maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat “bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Rasulullah. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.
Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alas an bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.
Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum yang ingkar karena isinya mencakup semua hal. Adapun hal-hal yang tidak merupakan pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan ini, seperti menulis Al-Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu’ dari pokoknya, yaitu sabda Rosululloh . Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Rasulullah dan perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancamanhadits diatas.Wallahu a’lam.

(SYARHUL ARBA’IINA HADIITSAN
AN-NAWAWIYAH
~ Ibnu Daqiqil ‘Ied ~)

JANGAN PERCAYA KEPADA PERAMAL


JANGAN PERCAYA KEPADA PERAMAL

Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

“Barangsiapa bertanya kepada peramal atau ahli nujum, kemudian ia percaya apa yang dikatakannya, berarti ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (Hadits shahih riwayat Ahmad).

Haram hukumnya mempercayai ahli nujum, dukun, peramal, tukang sihir, orang yang mengaku mengetahui jiwa orang atau peristiwa-peristiwa yang lalu yang tidak diketahui orang atau mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sebab hal-hal tersebut adalah khusus ilmu Allah saja. Allah berfirman :

] وهو عليم بذات الصدور [

“Dan Dia Maha Menetahui apa yang tersimpan dalam hati.” (Al-Hadid : 6).

Dan firman-Nya pula :

] قل لا يعلم من في السموات والأرض الغيب إلا الله [

“Katakanlah: tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.” (An-Naml : 65).

Rasululloh Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

“Barangsiapa mendatangi seorang peramal dan menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima baginya shalat selama empat puluh hari.” (riwayat Muslim).

Apa yang dikatakan oleh para peramal itu sebenarnya hanyalah dugaan dan kebetulan saja. Umumnya tidak lebih dari dusta Karena bisikan setan dan tidak ada orang yang terbujuk kecuali orang yang kurang akalnya saja. Andaikata mereka mengetahui hal-hal yang ghaib, niscaya mereka akan mengambil harta yang tersimpan dalam perut bumi ini sehingga mereka tidak lagi menjadi orang fakir yang kerjanya mengelabui orang lain hanya mencari sesuap nasi dengan caa yang batil. Kalau mereka benar-benar mengetahui hal-hal yang ghaib, maka beritahulah kami apa rahasia-rahasia yahudi sehingga dapat ditumbangkan.

Senin, 14 Desember 2009

POTENSI KEFASIKAN PADA DIRI MANUSIA


POTENSI KEFASIKAN PADA DIRI MANUSIA

1.Manusia bersifat tergesa-gesa.
Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. ( QS. 17 al Isra’ : 11 )

2.suka membantah.
Dan Sesungguhnya kami Telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran Ini bermacam-macam perumpamaan. dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. ( QS. 18 Al Kahfi : 54 )

3.melampaui batas.
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada kami untuk (menghilangkan) bahaya yang Telah menimpanya. begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. ( QS. 10 Yunus : 12 )

4.serba salah / suka protes.
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. ( QS. 70 al Ma’aarij : 19 )

5.keluh kesah dan pelit.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
( QS. 70 al Ma’aarij : 20 -21 )

6.ingkar, tidak mau bersyukur.
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya.
( QS. 100 al ‘Adiyat : 6 )

7.melihat dirinya serba cukup / berpeluang punya sifat sombong.
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, Karena dia melihat dirinya serba cukup. ( QS. 96 al ’Alaq : 6-7 )

8.bersusah payah.
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. ( QS. 90 al Balad : 4 )

9.bersifat lemah
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.
( QS. 4 An Nisaa’ : 28 )

10.fakir / banyak kebutuhannya.
Ingatlah, kamu Ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini. ( QS. 47 Muhammad : 38 )

11.cinta dunia.
Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta. ( QS. 100 al ’Aadiyaat : 8 )

Do’a supaya ditetepkeun haté


يَامُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِيْنِكَ. ( رواه الترمذي )
”hé, anu mulak malik haté ( ya Allâh ), mugi Gusti netepkeun haté abdi netepkeun dina agama Gusti”. ( h.r. at Tirmidzi )

أَللَّهُمَّ افْتَحْ مَسَامِعَ قَلْبِى لِذِكْرِى, وَارْزُقْنِى طَاعَتَكَ وَطَاعَةَ رَسُوْلِكَ وَعَمَلاً بِكِتَبِكَ.
(رواه الطبرانى عن على )
”Ya Allâh, mugi Gusti mukakeun pangdangu haté abdi, supados éling ka Gusti, sarta mugi Gusti maparin pituduh supados abdi ta’at kana paréntah sareng ka Râsul Gusti, sareng mugi Gusti maparin pituduh supados abdi sanggem ngamalkeun eusi kitab Gusti (alquran)”.
( h.r. at Thâbrâni ti ’Ali r.a. )

DELAPAN AKIBAT MAKSIAT


DELAPAN AKIBAT MAKSIAT


“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah..”
(Q.S. al Baqarah, 2: 286).

Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa. Dosa yang dilakukan pun kemudian memberikan bekas pada hati dan kehidupan. Sadar atau tidak, hati menjadi tidak tenang dan kesulitan demi kesulitan sepertinya selalu datang.
Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk selalu berbenah, memperbaharui iman agar tidak terus menerus terjebak dalam dosa.
Dosa yang kita lakukan pasti akan mengakibatkan efek pada sisi lain dalam kehidupan kita. Menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah, jika kita bermaksiat maka akan mengakibatkan delapan hal :
1. Menghalangi ilmu.
Ilmu adalah sinar yang diletakkan Allâh  di hati, sedangkan maksiat akan memadamkan sinar tersebut. Imam Syafi’I pernah mengeluh kepada gurunya betapa susahnya dia menghafal. Gurunya, Waki’ menasihatinya agar meninggalkan maksiat, ”Ketahuilah bahwa ilmu itu anugerah dan anugerah Allâh tidak diberikan kepada pelaku maksiat.”
2. Menghalangi rezeki.
Jika kita bertaqwa kepada Allâh  Dia akan membuka pintu Rahmat-Nya. Sedangkan jika bermaksiat, kita akan mendapatkan kehidupan yang sempit. Dalam kitab Musnad disebutkan,”Sesungguhnya seorang hamba tidak mendapatkan rezeki karena dosa yang dikerjakannya.”
3. Menimbulkan kerisauan dan kesepian dalam hati.
Setiap orang pasti tidak ingin menjadi pribadi yang selalu risau dan kesepian. Kemaksiatan membuat kita selalu was-was, semakin sepi, semakin jauh dari majelis pengajian, semakin jauh hati kita dari ayat-ayat Allâh . Maksiat membuat kita selalu risau, hati merasa sepi dan gersang.
4. Mendatangkan kesulitan.
Hidup orang yang maksiat akan sulit. Kesulitan dalam hidup akan membawa kita pada stress dan stress akan membawa kita pada ketidakseimbangan.
5. Menimbulkan kegelapan dalam hati.
Kata Imam Ibnu Qayyim, kegelapan hati akan dirasakan seseorang seperti gelapnya malam. Bila dia diberi petunjuk, kegelapan maksiatnya masuk menutupi hatinya, seperti perasaan menutupi penglihatan, setiap kali kegelapan menimpa, kita pun akan kebingungan, akhirnya kita akan terjebak dalam lembah dosa.
6. Melemahkan hati dan badan.
Kemaksiatan akan mempengaruhi hati dan badan kita. Seorang pelaku maksiat, walau badannya kuat, dia akan terlihat lemah. Itu karena hatinya yang kotor diselimuti dosa. Dalam peperangan, kita menyaksikan, pasukan Islam dengan jumlah sedikit sangat sering mengalahkan pasukan kafir yang berlipat-lipat jumlahnya, hal itu karena faktor iman dan jauh dari kemaksiatan.
7. Menghalangi ketaatan.
Seorang pendosa akan tidak taat kepada Allâh . Dia selalu jauh dari sinar taat karena maksiat yang dilakukannya setiap hari.
8. Mengurangi umur dan mengikis berkah.
Kebaikan akan menambah umur, sedangkan kejahatan akan mengurangi umur. Umur manusia yang produktif adalah umur yang digunakan untuk taat beribadah, selain itu berarti umurnya tidak berbarokah. Barulah dia sadar kalau hidupnya sudah berakhir.

Dia mengatakan: "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini". ( Q.S. Al-Fajr, 8:24 )

Kedelapan akibat maksiat tadi penting sekali kita tafakuri bersama. Betapa sering hari-hari kita terjangkiti virus maksiat. Di rumah dengan televisi, di lingkungan dengan penglihatan dan pendengaran yang diharamkan, di tempat kerja dan di mana pun kemaksiatan akan mengelilingi kita.
Karena itu, waspadalah …… waspadalah ,,,, !

Ikhwan Sejati


Ikhwan Sejati

"Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari badannya yang kekar,
tetapi dari kasih sayangnya pada orang lain di sekitarnya.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya,
tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat kerja,
tetapi bagaimana dia dihormati di dalam rumah.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan,
tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang,
tetapi dari hati yang berada di baliknya itu.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja,
tetapi dilihat dari komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan,
tetapi dari tabahnya ia menjalani liku-liku kehidupan.

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya ia membaca Al Qur'aan
tetapi dari istiqomahnya dalam melaksanakan apa yang ia baca.

Akhwat Sejati


Akhwat Sejati

Bukan dilihat dari kecantikan parasnya…
Tetapi dari kecantikan hati yang ada dibaliknya…

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari bentuk tubuh yang mempesona…
Tetapi dari sejauh mana dia berhasil menutup tubuhnya…

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari begitu banyaknya dia melakukan kebaikan…
Tetapi dari keikhlasannya memberikan kebaikan itu…

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya…
Tetapi dari apa yang sering mulutnya bicarakan…

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari keahliannya berbicara…
Tetapi dari bagaimana caranya berbicara….

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari keberaniannya berpakaian…
Tetapi dari sejauh mana dia mempertahankan kehormatannya…

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang dijalan…
Tetapi dari kekhawatiran dirinya yang membuat orang tergoda…

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari seberapa banyak dan besar ujian yang dijalani…
Tetapi dari sejauh mana dia menghadapi ujian dengan kesabaran…

@};-Akhwat Sejati…
Bukan dilihat dari sifat supelnya bergaul…
Tetapi dari sejauh mana dia menjaga kehormatannya dalam bergaul…

Kecerdasan Qalbiah


Kecerdasan Qalbiah


Kecerdasan Qalbiah adalah kecerdasan Intelektual , Emosional, Moral, Spiritual, dan Agama. Sosok yang telah mencapai kecerdasan Qalbiah yang sempurna adalah Nabi Muhammad SAW. Secara fisik, beliau pernah dibedah kalbunya sebanyak empat kali oleh malaikat Jibril dan disucikan dengan air Zam-zam. Salah satu pembedahannya adalah ketika beliau akan melakukan perjalanan isra’ dan mi’raj. Dalam satu sisi, Nabi Muhammad SAW. dikatakan sebagai sosok yang ummi, dalam arti tidak bisa membaca dan menulis, padahal membaca dan menulis dianggap sebagai dasar-dasar kecerdasan intelektual-rasional. Hal itu tidak berarti bahwa beliau tidak memiliki kecerdasan sama sekali. Boleh jadi secara intelektual (rasional) beliau tidak memiliki kecerdasan, tetapi secara intelektual (intuitif), emosional, moral, spiritual, dan beragama beliau dianggap orang yang paling tinggi memiliki kecerdasan. Dampak buruk dari pendidikan yang hanya mengejar nilai akademis dengan tidak mempedulikan kecerdasan emosi, moral, spiritual, dan agama, adalah kehancuran.

Rabu, 09 Desember 2009

Sutrah dalam Shalat



Sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Apabila ada yang shalat diantara kalian maka sholatlah dengan menggunakan pembatas dan hendaklah dia mendekati pembatas tersebut, janganlah membiarkan seorangpun lewat antara dirinya dan pembatas tersebut” (HR: Abu Dawud no. 697 dan 698. [Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Al-Albany hal. 82.])

Ini merupakan dalil/nash yang umum tentang sunnahnya mengambil sutrah ketika sholat baik di masjid maupun di rumah. Sutrah berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.

1. Sutrah ketika sholat dapat menggunakan apa-apa yang berada di arah kiblat seperti tembok, tongkat, atau tiang dan tidak ada pembatasan tentang bentangan/lebar sutrah.

2. Tinggi sutrah kira-kira setingggi mu’akhiraturr (Sandaran pada bagian belakang pelana kuda yang ukurannya kira-kira dua pertiga dziraa’ (1 dziraa’= sepanjang siku-siku tangan sampai ujung jari tengah), yaitu yang ukurannya kira-kira satu jengkal tangan.

3. Jarak antara kedua kaki dan sutrah adalah kira-kira tiga hasta (siku sampai ujung jari tengah) dan diantara dia dengan sutrah masih ada tempat (ruang) untuk melakukan sujud.

4. Sesungguhnya sutrah (tabir penghalang) disyariatkan bagi imam dan orang-orang yang sholat secara munfarid (sendiri) baik sholat wajib lima waktu maupun shalat sunnat

5. Sutrah makmum mengikuti sutrah imam, maka diperbolehkan melewati makmum apabila ada hajat (kepentingan).

Sesungguhnya sunnah menggunakan sutrah ketika sholat menjaga sholat agar tidak terputus yang disebabkan oleh lalu lalangnya siapa saja yang bisa memutuskan/membatalkan sholat (yaitu perempuan, keledai, dan anjing yang hitam) atau mengurangi pahalanya.

Mencegah pandangan dari melihat orang-orang yang lalu lalang karena orang yang memakai sutrah secara umum pandangannya ke arah sutrah dan pikirannya terkonsentrasi pada makna-makna bacaan sholat.

Orang yang sholat memakai sutrah telah memberikan kesempatan bagi orang yang berlalu-lalang maka tidak perlu menjauhkan orang-orang yang berlalu lalang di depannya

Minggu, 06 Desember 2009

Masih banyak...

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ


“dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (TQS. 2 : 170)

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ


“apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (TQS. 5 : 104)

Rabu, 25 November 2009

Arti Penting Tawakkal


Arti Penting Tawakkal

Tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan penuh kepercayaan kepadaNya disertai mengambil sebab yang diizinkan syariat. (Qoulul Mufid 2/52). Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa tawakkal yang dilakukan seseorang bisa dinilai sebagai tawakkal yang dibenarkan jika terpenuhi dua syarat: [1] Kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah dan [2] Menggunakan sebab yang diizinkan syariat.

Kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertawakkal kepada Allah. Meskipun demikian, dalam perjalanan dakwahnya, beliau melakukan usaha dan menggunakan beberapa sebab yang diziinkan syariat. Ketika hijrah ke Madinah beliau menyewa orang badui yang bernama Abdullah bin ‘Uraiqith untuk dijadikan sebagai penunjuk jalan. Kita paham betul bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakin Allah bisa menunjukkan jalan hijrahnya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyewa orang lain sebagai penunjuk jalannya menuju Madinah. Ini hanya sekelumit contoh dari sekian perjalanan dakwah beliau.

Sesungguhnya Allah, Dzat yang Hakim, dengan hikmahNya, Dia menjadikan segala sesuatu itu ada sebabnya. Maka bagian dari keyakinan terhadap hikmah Allah adalah menggunakan sebab yang diizinkan syariat ketika hendak menmperoleh sesuatu. Sebaliknya orang yang melakukan sesuatu namun tidak menggunakan sebab yang diizinkan syariat maka dia dianggap telah mengingkari hikmah Allah.

Rahasia Di Balik Sakit



Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (Al Anbiyaa’: 35). Sahabat Ibnu ‘Abbas -yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir Al Qur’an- menafsirkan ayat ini: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”. (Tafsir Ibnu Jarir). Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai rahasia/hikmah yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia.

Hari Arofah

Keutamaan Hari Arofah

Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut, “Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” [13]

Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.” [14] Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan. [15] Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah. Do’a ketika ini adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.

Jangan Tinggalkan Puasa Arofah

Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” [16] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. [17] Keutamaan puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat. [18]

Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” [19]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan, “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.” [20]

Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas ulama. [21]

[13 HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah
[14] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[15] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam
[16] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah
[17] Lihat Fathul Bari, 6/286
[18] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam
[19] HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[20] HR. Tirmidzi no. 751. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih
[21] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 2/137, Al Maktabah At Taufiqiyah

Hukum Sholat Jum’at Pada Hari Raya (Idul Fitri/Adha)

Hukum Sholat Jum’at Pada Hari Raya (Idul Fitri/Adha)

Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun ini (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa:

“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”

Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :

Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar/ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.

Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.

Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.

Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.

2. Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.

Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.

Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.

2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata : “Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” [Shallan nabiyyu shallallaahu 'alayhi wa sallama al 'iida tsumma rakhkhasha fil jumu'ati tsumma qaala man syaa-a an yushalliya falyushalli] (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda : “Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” [Qad ijtama'a fii yawmikum haadza 'iidaani, fa man syaa-a ajza-a-hu minal jumu'ati, wa innaa mujammi'uun] (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).

Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.

Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan. Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”

Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi/ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar/ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?

Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum.

2.2. Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.

Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat). Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.

2.3. Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.

Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.

Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.

2.4. Keterangan Hukum Keempat

Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.

Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.”

Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat.

3. Meninjau Pendapat Lain
3.1. Pendapat Imam Syafi’i

Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.

Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata : “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…”

Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… “

Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.

3.2. Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”

Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i. Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.

Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).

Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat menurut kami.

3.3. Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.

Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu:
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya : “Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” ['Iidaani ijtama'aa fii yawmin waahidin, fajamma'ahumaa fashallahumaa rak'atayni bukratan lam yazid 'alayhaa hattaa shallal 'ashra]

Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.

Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.

Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur.

4. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.

Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.

Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.

Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.

Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.

Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.

Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.

An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.

———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.

Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.

Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.

Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal

Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal.

KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Jawaban diambil dari : www.khilafah1924.org

Jumat, 20 November 2009

KISAH QARUN

KISAH QARUN

Qarun adalah kaum Nabi Musa, berkebangsaan Israel, dan bukan berasal dari suku Qibthi (Gypsy, bangsa Mesir). Allah mengutus Musa kepadanya seperti diutusnya Musa kepada Fir'aun dan Haman. Allah telah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah yang banyak memenuhi lemari simpanan. Perbendaharaan harta dan lemari-lemari ini sangat berat untuk diangkat karena beratnya isi kekayaan Qarun. Walaupun diangkat oleh beberapa orang lelaki kuat dan kekar pun, mereka masih kewalahan.

Qarun mempergunakan harta ini dalam kesesatan, kezaliman dan permusuhan serta membuatnya sombong. Hal ini merupakan musibah dan bencana bagi kaum kafir dan lemah di kalangan Bani Israil.Dalam memandang Qarun dan harta kekayaannya, Bani Israil terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang yang beriman kepada Allah dan lebih mengutmakan apa yang ada di sisi-Nya. Karena itu mereka tidak terpedaya oleh harta Qarun dan tidak berangan-angan ingin memilikinya. Bahkan mereka memprotes kesombongan, kesesatan dan kerusakannya serta berharap agar ia menafkahkan hartanya di jalan Allah dan memberikan kontribusi kepada hamba-hamba Allah yang lain.Adapun kelompok kedua adalah yang terpukau dan tertipu oleh harta Qarun karena mereka telah kehilangan tolok ukur nilai, landasan dan fondasi yang dapat digunakan untuk menilai Qarun dan hartanya. Mereka menganggap bahwa kekayaan Qarun merupakan bukti keridhaan dan kecintaan Allah kepadanya. Maka mereka berangan-angan ingin bernasib seperti itu.

Qarun mabuk dan terlena oleh melimpahnya darta dan kekayaan. Semua itu membuatnya buta dari kebenaran dan tuli dari nasihat-nasihat orang mukmin. Ketika mereka meminta Qarun untuk bersyukur kepada Allah atas sedala nikmat harta kekayaan dan memintanya untuk memanfaatkan hartanya dalam hal yang bermanfaat,kabaikan dan hal yang halal karena semua itu adalah harta Allah, ia justru menolak seraya mengatakan "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku"

Suatu hari, keluarlah ia kepada kaumnya dengan kemegahan dan rasa bangga, sombong dan congkaknya. Maka hancurlah hati orang fakir dan silaulah penglihatan mereka seraya berkata, "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar."Akan tetapi orang-orang mukmin yang dianugerahi ilmu menasihati orang-orang yang tertipu seraya berkata, "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh…."

Berlakulah sunnatullah atasnya dan murka Allah menimpanya. Hartanya menyebabkan Allah murka, menyebabkan dia hancur, dan datangnya siksa Allah. Maka Allah membenamkan harta dan rumahnya kedalam bumi, kemudian terbelah dan mengangalah bumi, maka tenggelamlah ia beserta harta yang dimilikinya dengan disaksikan oleh orang-orang Bani Israil. Tidak seorangpun yang dapat menolong dan menahannya dari bencana itu, tidak bermanfaat harta kekayaan dan perbendaharannya.

Tatkala Bani Israil melihat bencana yang menimpa Qarun dan hartanya, bertambahlah keimanan orang-orang yang beriman dan sabar. Adapaun mereka yang telah tertipu dan pernah berangan-angan seperti Qarun, akhirnya mengetahui hakikat yang sebenarnya dan terbukalah tabir, lalu mereka memuji Allah karena tidak mengalami nasib seperti Qarun. Mereka berkata, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)."

PENYEBUTAN QARUN DALAM QURAN

Nama Qarun diulang sebanyak empat kali dalam Al-Quran, dua kali dalam surah al-Qashash, satu kali dalam surah al-`Ankabut, dan satu kali dalam surah al-Mu'min.Penyebutan dalam surah al-`Ankabut pada pembahasan singkat tentang pendustaan oleh tiga orang oknum thagut, yaitu Qarun,Fir'aun, dan Haman, lalu Allah menghancurkan mereka.

"Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi, mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu, kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (al-`Ankabut: 39-40)

Penyebutan dalam surah al-Mu'min (Ghafir) pada kisah pengutusan Musa a.s. kepada tiga orang thagut yang mendustakannya."Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Fir'aun, Haman, dan Qarun, maka mereka berkata, `(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.'" (al-Mu'min:23-24)

Gurau dan Canda Rasulullah SAW

Gurau dan Canda Rasulullah SAW

Rasulullah SAW bergaul dengan semua orang. Baginda menerima hamba, orang buta, dan anak-anak. Baginda bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi Baginda tidak berkata kecuali yang benar saja.
Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata,
"Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta", katanya.
"Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta", kata Rasulullah SAW.
"Ia tidak mampu", kata perempuan itu.
"Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta".
"Ia tidak mampu".
Para sahabat yang berada di situ berkata,
"bukankah unta itu juga anak unta?"

Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah SAW,
"Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memanggilmu".
"Semoga suamimu yang dalam matanya putih", kata Rasulullah SAW.
Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan keheranan, "kenapa kamu ini?".
"Rasulullah memberitahu bahwa dalam matamu putih", kata istrinya menerangkan. "Bukankah semua mata ada warna putih?" kata suaminya.
Seorang perempuan lain berkata kepada Rasulullah SAW,
"Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam syurga". "Wahai ummi fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua".
Perempuan itu lalu menangis.
Rasulullah menjelaskan, "tidakkah kamu membaca firman Allah ini,

Serta kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya".

Para sahabat Rasulullah SAW suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na'im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.